Rabu, 08 April 2015

Candi, Arca Dan Prasasti. (Materi SBK Kelas X Semester II)

CANDI

Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadahpeninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1] Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-BuddhaIndonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru.[2]Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru.[2] Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.[3]
Beberapa candi seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detil, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyangbangsa Indonesia.[4]

TERMINOLOGI

Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[6] Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.

Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah Bujang di Kedah). Sama halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.



Candi di Indonesia
Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan, akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di Indonesia yang termasyhur seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut.[7]
Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan karya cipta arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin, Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal.[8] Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur danCandi Sewu.[8] Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah.[9] Candi itu didirikan pada abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.[9]

Nama candi

Kebanyakan candi-candi yang ditemukan di Indonesia tidak diketahui nama aslinya. Kesepakatan di dunia arkeologiadalah menamai candi itu berdasarkan nama desa tempat ditemukannya candi tersebut. Candi-candi yang sudah diketahui masyarakat sejak dulu, kadang kala juga disertai dengan legenda yang terkait dengannya. Ditambah lagi dengan temuan prasasti atau mungkin disebut dalam naskah kuno yang diduga merujuk kepada candi tersebut. Akibatnya nama candi dapat bermacam-macam, misalnya candi Prambanan, candi Rara Jonggrang, dan candi Siwagrha merujuk kepada kompleks candi yang sama. Prambanan adalah nama desa tempat candi itu berdiri. Rara Jonggrang adalah legenda rakyat setempat yang terkait candi tersebut. Sedangkan Siwagrha (Sanskerta: "rumah Siwa") adalah nama bangunan suci yang dipersembahkan untuk Siwa yang disebut dalam Prasasti Siwagrha dan merujuk kepada candi yang sama. Berikut adalah sebagian kecil candi-candi yang dapat diketahui kemungkinan nama aslinya:





Bayu (?) (berdasarkan warga)
Nama candi
Dusun dan Desa
NAMA asli
Nama lain




Gunung Wukir(Jawa: "gunung berukir")
Canggal, Kadiluwih
Siwalingga (?) (berdasarkan prasasti Canggal)

Mendut, Mungkid
Venuvana (Sanskerta: "hutan bambu" berdasarkan prasasti Karangtengah)

Pawon (Jawa: "dapur" atau "pa-awu-an", tempat abu)
Bajranalan
Vajranala (?) (Sanskerta: "api halilintar" berdasarkan nama desa)

Pawon (Jawa: "dapur" atau "pa-awu-an", tempat abu)
Bajranalan
Vajranala (?) (Sanskerta: "api halilintar" berdasarkan nama desa)

Ratu Boko (Jawa: "raja Boko", terkait legenda Rara Jonggrang)
Sambirejo
Abhayagiri (Sanskerta:"gunung yang aman dari bahaya", prasasti Abhayagiri Wihara)
Penataran, Nglegok
Palah (Nagarakretagama)
Candi Wates, Prigen
Jajawa (Nagarakretagama)
Tumpang
Jajaghu (Nagarakretagama)
Bajang Ratu(Jawa:"raja cacat")
Temon, Trowulan
Çrenggapura atau Sri Ranggapura(Sanskerta:"Istana Sri Rangga", berdasarkan Nagarakretagama, pedharmaan raja Jayanegara)
Bumisegoro, Borobudur
Bhumisambharabudhara(Sanskerta:"sepuluh tingkatan kebajikan bodhisatwa", berdasarkanprasasti Tri Tepusan)
Jinalaya (berdasarkanprasasti Karangtengah),Budur (berdasarkanNagarakretagama)
Kalibening, Kalasan
Tārābhavanaṃ (Sanskerta: "Buana Tara", berdasarkan prasasti Kalasancandi ini dipersembahkan untukdewi Tara)
Kalaça (nama desa berdasarkan prasasti Kalasan)
Prambanan
Shivagrha (Sanskerta:"rumah Siwa", berdasarkan prasasti Siwagrha)
Rara Jonggrang (legenda setempat)
Jabung, Paiton
Vajrajinaparamitapura(Sanskerta:"Istana Wajra Jina (Buddha) Paramita", berdasarkanNagarakretagama)
Sajabung (Pararaton)




Jenis dan Fungsi
Jenis berdasarkan agama
            Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan bangunan keagamaan.
1.   Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
2.   Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan bhiksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
3.   Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi Jawi.
4.   Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya, contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi Wringin Lawang.

Jenis berdasarkan hirarki dan ukuran

Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hirarki, dari candi terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau peruntukannya, candi terbagi menjadi:
1.    Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran.
2.    Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit,Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
3.    Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).
Fungsi
Candi dapat berfungsi sebagai:
1.   Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa,candi Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.
2.   Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk menyimpan relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi yang dipercaya milik Buddha Gautama, atau bhiksu Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual, contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus
3.   Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang dibangun untuk memuliakan arwah raja atau tokoh penting yang telah meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan juga karena arwah raja yang telah meninggal seringkali dianggap bersatu dengan dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda. Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
4.   Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
5.   Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi, candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama, contoh: candi Sari dan Plaosan
6.   Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.
7.   Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus
Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan merupakan candi, seringkali secara keliru disebut pula sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, atau pun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.

Arsitektur
Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India Selatan, yang tidak hanya berisi pedoman-pedoman membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota dan desa.
            Lokasi
Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi tempat candi akan dibangun. Hal ini terkait dengan pembiayaan candi, karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima, yaitu tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa prasasti menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain itu pembangunan tata letak candi juga seringkali memperhitungkan letak astronomi (perbintangan).

Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, atau di lembah. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa Tengah banyak tersebar di kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu.
          Tata letak
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:
1.   Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara). Candi perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini dipengaruhi tata letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi Prambanan dan Candi Sewu.
2.   Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi perwara berada di depan candi induk. Ada yang disusun berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki kawasan yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan, sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini merupakan sistem tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang tinggi, sehingga bangunan induk atau tersuci diletakkan paling tinggi di belakang mengikuti topografi alami ketinggian tanah tempat candi dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan dalam tata letak PuraBali.

GAYA ARSITEKTUR
Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa Timur. Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari sebelum tahun 1000 masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah candi yang berasal dari sesudah tahun 1000 masehi. Candi-candi di Sumatera dan Bali, karena kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam Jawa Timur.
Bagian dari Candi
Langgam Jawa Tengah
Langgam Jawa Timur
Bentuk bangunan
Cenderung tambun
Cenderung tinggi dan ramping
Atap
Jelas menunjukkan undakan, umumnya terdiri atas 3 tingkatan
Atapnya merupakan kesatuan tingkatan. Undakan-undakan kecil yang sangat banyak membentuk kesatuan atap yang melengkung halus. Atap ini menimbulkan ilusi perspektif sehingga bangunan berkesan lebih tinggi
Kemuncak atau mastaka
Stupa (candi Buddha), Ratna, Wajra, atau Lingga Semu (candi Hindu)
Kubus (kebanyakan candi Hindu), terkadang Dagoba yang berbentuk tabung (candi Buddha)
Gawang pintu dan hiasan relung
Gaya Kala-Makara; kepala Kala dengan mulut menganga tanpa rahang bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan Makara ganda di masing-masing sisi pintu
Hanya kepala Kala tengah menyeringai lengkap dengan rahang bawah terletak di atas pintu, Makara tidak ada
Relief
Ukiran lebih tinggi dan menonjol dengan gambar bergaya naturalis
Ukiran lebih rendah (tipis) dan kurang menonjol, gambar bergaya seperti wayang Bali
Kaki
Undakan jelas, biasanya terdiri atas satu bagian kaki kecil dan satu bagian kaki lebih besar. Peralihan antara kaki dan tubuh jelas membentuk selasar keliling tubuh candi
Undakan kaki lebih banyak, terdiri atas beberapa bagian batur-batur yang membentuk kaki candi yang mengesankan ilusi perspektif agar bangunan terlihat lebih tinggi. Peralihan antara kaki dan tubuh lebih halus dengan selasar keliling tubuh candi lebih sempit
Tata letak dan lokasi candi utama
Mandala konsentris, simetris, formal; dengan candi utama terletak tepat di tengah halaman kompleks candi, dikelilingi jajaran candi-candi perwarayang lebih kecil dalam barisan yang rapi
Linear, asimetris, mengikuti topografi (penampang ketinggian) lokasi; dengan candi utama terletak di belakang, paling jauh dari pintu masuk, dan seringkali terletak di tanah yang paling tinggi dalam kompleks candi, candi perwara terletak di depan candi utama
Arah hadap bangunan
Kebanyakan menghadap ke timur
Kebanyakan menghadap ke barat
Bahan bangunan
Kebanyakan batu andesit
Kebanyakan bata merah


Meskipun demikian terdapat beberapa pengecualian dalam pengelompokkan langgam candi ini. Sebagai contoh candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal, dan candi Singhasari jelas masuk dalam kelompok langgam Jawa Timur, akan tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit, sama dengan ciri candi langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan Trowulan seperti candi Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti candi Jabung dan candi Pari yang berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping serupa candi Jawa Timur, tapi susunan dan bentuk atapnya adalah langgam Jawa Tengahan. Lokasi candi juga tidak menjamin kelompok langgamnya, misalnya candi Badut terletak di Malang, Jawa Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa Tengah yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua di abad ke-8 masehi.
Bahkan dalam kelompok langgam Jawa Tengahan terdapat perbedaan tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara langgam Jawa Tengah Utara (misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah Selatan (misalnya kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit; sedangkan langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur.
Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada candi Sukuh dan candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.




Prasasti
Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajai tentang prasasti disebut Epigrafi.
Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.
Dalam pengertian modern di Indonesia, prasasti sering dikaitkan dengan tulisan di batu nisan atau di gedung, terutama pada saat peletakan batu pertama atau peresmian suatu proyek pembangunan. Dalam berita-berita media massa, misalnya, kita sering mendengar presiden, wakil presiden, menteri, atau kepala daerah meresmikan gedung A, gedung B, dan seterusnya dengan pengguntingan pita dan penandatanganan prasasti. Dengan demikian istilah prasasti tetap lestari hingga sekarang.
                ETIMOLOGI
Kata prasasti berasal dari bahasa Sanskerta, dengan arti sebenarnya adalah "pujian". Namun kemudian dianggap sebagai "piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan". Di kalangan arkeolog prasasti disebut inskripsi, sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Meskipun berarti "pujian", tidak semua prasasti mengandung puji-pujian (kepada raja). Sebagian besar prasasti diketahui memuat keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi sima atau daerah perdikan. Sima adalah tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa kepada masyarakat yang dianggap berjasa. Karena itu keberadaan tanah sima dilindungi oleh kerajaan.
                ISI
Isi prasasti lainnya berupa keputusan pengadilan tentang perkara perdata (disebut prasasti jayapatra atau jayasong), sebagai tanda kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapatra), dan tentang kutukan atau sumpah. Prasasti tentang kutukan atau sumpah hampir semuanya ditulis pada masa kerajaan Sriwijaya. Serta adapula prasasti yang berisi tentang genealogi raja atau asal usul suatu tokoh.

Sampai kini prasasti tertua di Indonesia teridentifikasi berasal dari abad ke-5 Masehi, yaitu prasasti Yupa dari kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti tersebut berisi mengenai hubungan genealogi pada masa pemerintahan raja Mulawarman. Prasasti Yupa merupakan prasasti batu yang ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Periode terbanyak pengeluaran prasasti terjadi pada abad ke-8 hingga ke-14. Pada saat itu aksara yang banyak digunakan adalah Pallawa, Prenagari, Sanskerta, Jawa Kuna, Melayu Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna. Bahasa yang digunakan juga bervariasi dan umumnya adalah bahasa Sanskerta, Jawa Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna.
Prasasti dapat ditemukan dalam bentuk angka tahun maupun tulisan singkat. Angka tahun dapat ditulis dengan angka maupuncandrasengkala, baik kata-kata maupun tulisan. Tulisan singkat dapat ditemukan pada dinding candi, pada ambang pintu bagian atas dan pada batu-batu candi.
Pada zaman kerajaan Islam, prasasti menggunakan aksara dan bahasa Arab ataupun aksara Arab namun berbahasa Melayu aksara Pegon. Sebagian besar prasasti terdapat pada lempengan-lempengan tembaga bersurat, makam, masjid, hiasan dinding, baik di masjid maupun dirumah para bangsawan, pada cincin cap dan cap kerajaan, mata uang, meriam, dll. Pada masa yang lebih muda yaiyu masa kolonial, aksara Latin banyak digunakan, meliputi bahasa-bahasa Inggris, Portugis, dan Belanda. Prasasti Latin umumnya terdapat pada gereja-gereja, rumah dinas pejabat kolonial, benteng-benteng, tugu peringatan, meriam, mata uang, cap, dan makam. Prasasti beraksara dan berbahasa Cina juga dikenal di Indonesia yang tersebar antara masa Klasik sampai masa Islam. Prasasti tersebut terdapat pada mata uang, benda-benda porselin, gong perunggu dan batu-batu kubur yang biasanya terbuat dari batuan pualam.
Bahan yang digunakan untuk menuliskan prasasti biasanya berupa batu atau lempengan logam, daun, dan kertas. Selain andesit, batu yang digunakan adalah batu kapur, pualam, dan basalt. Dalam arkeologi, prasasti batu disebut upala prasasti. Prasasti logam yang umumnya terbuat dari tembaga dan perunggu, biasa disebut tamra prasasti. Hanya sedikit sekali prasasti yang berbahan lembaran perak dan emas. Adapula yang disebutripta prasasti, yakni prasasti yang ditulis di atas lontar atau daun tal. Beberapa prasasti terbuat tanah liat atau tablet yang diisi dengan mantra-mantra agama Buddha.

                DAFTAR PRASASTI DI NUSANTARA
BAHASA SANSKERTA
·         Prasasti Mulawarman, Kutai, ~ 400
·         Prasasti Kebon Kopi, Ciampea, Bogor, ~ 400
·         Prasasti Tugu, Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, abad ke-5
·         Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, abad ke-5
·         Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
·         Prasasti Muara Cianten atau Prasasti Pasir Muara, Ciampea, Bogor, 536
·         Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor, abad ke-5
·         Prasasti Pasir Awi atau Prasasti Ciampea, Citeureup, Bogor,
·         Prasasti Tukmas, Dakawu, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, ~ 500
·         Prasasti Canggal, Candi Gunung Wukir, Desa Kadiluwih, Salam, Magelang, Jawa Tengah, 732
·         Prasasti Tri Tepusan, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, 842
·         Prasasti Mula Malurung, Kediri, 1255
·         Prasasti Wurare, Kandang Gajak, Desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto, 1289

BAHASA MELAYU
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Melayu, baik bahasa Melayu Kuna maupun Melayu Klasik (Pertengahan).
·         Prasasti Sojomerto, Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Batang, Jawa Tengah[1], awal abad ke-7 paling tua[2].
·         Prasasti Kedukan Bukit, Palembang, Sumatera Selatan, 16 Juni 682
·         Prasasti Talang Tuwo, Palembang, Sumatera Selatan, 23 Maret 684
·         Prasasti Kota Kapur, Kota Kapur, Bangka, 686
·         Prasasti Bukateja, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah[3], abad ke-6 atau ke-7
·         Prasasti Karang Brahi, Karangberahi, Jambi, abad ke-7
·         Prasasti Telaga Batu, Palembang, Sumatera Selatan, abad ke-7
·         Prasasti Palas Pasemah, Palas,Lampung, abad ke-7
·         Prasasti Raja Sankhara, Sragen, Jawa Tengah, abad ke-8 (kini hilang).[4]
·         Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung, Jawa Tengah, 824 (dwibahasa, Melayu Kuna dan Jawa Kuna)
·         Prasasti Gandasuli I dan II, Candi Gondosuli, Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, 832[3]
·         Keping Tembaga Laguna, Manila, Filipina, 900[3]
·         Prasasti Hujung Langit, Hujung Langit, Lampung, 997
·         Prasasti Dewa Drabya, Dieng, Jawa Tengah[3]
·         Prasasti Mañjuçrighra, Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, 2 November 792M[3]
·         Prasasti Terengganu, Trengganu (Malaysia), (abad ke-14, yaitu 1303, 1326 atau 1386)
·         Prasasti Minyetujoh, Minye Tujuh, Aceh, 1380

BAHASA BALI
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Jawa, baik Jawa Kuna (Kawi) maupun Baru.

·         Prasasti Plumpungan, Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah, 24 Juli 750
·         Prasasti Sukabumi, Sukabumi, Pare, Kediri, Jawa Timur, 25 Maret 804
·         Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung, Jawa Tengah (dwibahasa), 824
·         Prasasti Siwagrha (Prasasti kakawin tertua Jawa), 856
·         Prasasti Taji, 901
·         Prasasti Mantyasih, Desa Meteseh, Magelang Utara, Jawa Tengah, 11 April 907
·         Prasasti Rukam, 907
·         Prasasti Wanua Tengah III, 908
·         Prasasti Wurudu Kidul, tanpa tahun, ~ 922
·         Prasasti Mula Malurung, Kediri, 1255[5]
·         Prasasti Sarwadharma, pemerintahan Kertanegara, 1269
·         Prasasti Sapi Kerep, Desa Sapi Kerep, Sukapura, Probolinggo, 1275[5]
·         Prasasti Singhasari 1351, Singosari, Malang, Jawa Timur, 1351
·         Prasasti Ngadoman, Ngadoman (Salatiga), Jawa Tengah, 1450
·         Prasasti Pakubuwana X, Surakarta, Jawa Tengah, 1938
BAHASA BALI
·         Prasasti Blanjong, Sanur, Bali, 913 (dwibahasa, Bali Kuna dan Sanskerta)
·         Prasasti Bebetin, Sawan, Buleleng, Bali, 1049 (salinan dari asli yang berasal dari tahun 896)
·         Prasasti Pandak Badung, Tabanan, Bali, 1071
BAHASA SUNDA
·         Prasasti Astana Gede, Kawali, Ciamis, Jawa Barat ~ 1350
·         Prasasti Batutulis, Bogor ~ 1533
·         Prasasti Kebantenan, Bekasi, Jawa Barat ~ 1521
·         Prasasti Galuh, Galuh, Ciamis, Jawa Barat ~ 1470
·         Prasasti Rumatak, Geger Hanjuang, desa Rawagirang, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat ~ 1111
·         Prasasti Cikajang, Cikajang, Garut, Jawa Barat
·         Prasasti Huludayeuh, Huludayeuh, desa Cikalahang, Cirebon, Jawa Barat
·         Prasasti Ulubelu, Lampung
·         Prasasti Cikapundung, prasasti yang diduga dari abad ke-14, Bandung, Jawa Barat
BAHASA PORTUGIS
·         Padrão Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Jakarta Utara, 21 Agustus 1522



ARCA
Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana dalam memuja tuhan atau dewa-dewinya. Arca berbeda dengan patung pada umumnya, yang merupakan hasil seni yang dimaksudkan sebagai sebuah keindahan. Oleh karena itu, membuat sebuah arca tidaklah sesederhana membuat sebuah patung.
Kini di dalam dunia keagamaan Indonesia dikenal tiga macam arca, yakni arca peninggalan agama Hindu, arca peninggalan agamaBudha, dan arca agama Kristen (terutama Katolik).

HINDU
Dalam agama Hindu, arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: मूर्ति), atau murthi, yang merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta). Berarti "penubuhan", murti adalah perwujudan aspek ketuhanan (dewa-dewi), biasanya terbuat dari batu, kayu, atau logam, yang berfungsi sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan dalam pemujaan.[1] Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas dipuja sebagai fokus pemujaan kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan bersemayam didalamnya dengan tujuan memberikan persembahan atau sesaji.[2] Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap tubuh, atribut, atau proporsinya harus mengacu kepada tradisi keagamaan yang bersangkutan.[1]
Arca tidak selalu ditemukan di dekat sebuah candi. Candi bisa jadi memiliki sebuah arca, namun sebuah arca belum tentu ada dalam sebuah candi. Ada tiga jenis arca berdasarkan kuantitas pemujanya, yakni:
·         Arca Istadewata, yaitu arca yang dimiliki oleh perseorangan, sehingga dapat dibawa kemana-mana.
·         Arca Kuladewata, yaitu arca yang dimiliki oleh sebuah keluarga, biasanya terdapat di rumah-rumah.
·         Arca Garbadewata, yaitu arca yang dipuja oleh banyak orang, dalam hal ini masyarakat.

BUDHA

Murti juga dimuliakan dalam agama Buddha terutana mazhab Mahayana saat beribadah sebagai sasaran pemujaan atau fokus meditasi. Pemujaan murti sangat dianjurkan dalam dalam Hindu dan Buddha, khususnya pada masa Dwapara Yuga,[3] seperti disebutkan dalam naskah Pañcaratra. Dalam agama Buddha, arca perwujudan Buddha Gautama disebut Buddharupa.

LAKSANA
Arca dewa, dewi, atau boddhisatwa biasanya mengenakan perhiasan yang raya dan mewah, seperti jamang, jatamakuta (mahkota), subang (anting-anting), cincin, gelang, kelat bahu, upawita, pending, ikat perut, ikat pinggang, ikat pinggul, dan gelang kaki.

Tidak seperti patung biasa yang dibuat bebas sesuai keinginan seniman pematungnya, arca dewa-dewi, buddha, bodhisattwa atau makhluk spiritual tertentu memiliki ciri-ciri yang disebut laksana, yaitu atribut atau benda-benda tertentu yang dibawa oleh arca ini yang menjadi cirinya. Laksana sudah disepakati dalam ikonografi seni Hindu dan Buddha.

Berikut ini adalah laksana atau ciri-ciri atribut dewa-dewa atau tokoh spiritual lainnya:

Shiwa: Memiliki mata ketiga di dahinya, pada mahkotanya terdapat bulan sabit dan tengkorak yang disebut Ardhachandrakapala, upawita (tali kasta) ular naga, mengenakan cawat kulit harimau yang ditampilkan dengan ukiran kepala dan ekor harimau di pahanya, bertangan empat yang membawa atribut yaitu trisula, aksamala (tasbih), camara (pengusir lalat), dan kamandalu (kendi). Wahana (kendaraannya) adalah Nandi.
Wishnu: Mengenakan mahkota agung jatamakuta, bertangan empat yang membawa atribut yaitu chakra (piringan cakram), cengkha (cangkang kerang bersayap), gada, dan buah atau kuncup bunga padma. Wahananya adalah Garuda.
Brahma: Berkepala empat pada tiap penjuru mata angin, mengenakan mahkota agung jatamakuta, bertangan empat yang membawa atribut yaitu kitab, aksamala (tasbih), camara (pengusir lalat), dan buah atau kuncup bunga padma.Wahananya adalah Hamsa (angsa).
Agastya: Shiwa dalam perwujudannya sebagai resi brahmana pertapa, digambarkan pria tua berjanggut dan berperut buncit, memegang aksamala, kamandalu, dan trisula.
Ganesha: Putra Shiwa yang berkepala gajah ini digambarkan bertangan empat dengan tangan belakang memegang aksamala dan kampak, sementara tangan depannya memegang mangkuk yang dihirup belalainya, serta potongan gadingnya.
Durga: Istri Shiwa ini sering diwujudkan sebagai Mahisashuramardhini (pembunuh ashura banteng) dengan posisi menindas raksasa banteng. Ia digambarkan sebagai wanita cantik dalam busana kebesaran bertangan delapan atau duabelas dengan memegang berbagai senjata seperti pedang, perisai, parang busur panah, anak panah, chakra, cengkha, dan tangan yang menjambak rambut Mahisashura dan menarik ekornya. Wahananya adalah Singa.
Laksmi: Istri Wishnu ini adalah dewi kemakmuran dan kebahagiaan. Digambarkan sebagai wanita cantik dalam busana kebesaran bertangan dua atau empat dengan memegang padma (teratai merah).
Saraswati: istri Brahma ini adalah dewi pengetahuan dan kesenian. Digambarkan sebagai wanita cantik dalam busana kebesaran bertangan empat yang memegang alat musik sitar, aksamala, dan kitab lontar. Wahananya adalah hamsa (angsa).
Wairocana: Buddha penguasa pusat zenith digambarkan sebagai Buddharupa dalam posisi bersila atau duduk dengan mudra (sikap tangan) dharmachakra mudra atau witarka mudra.
Awalokiteswara: Mengenakan mahkota agung jatamakuta yang ditengahnya terukir Buddha Amitabha, bertangan dua atau empat yang membawa atribut buah atau kuncup bunga padma.
Maitreya: Mengenakan mahkota agung jatamakuta yang ditengahnya terukir stupa.

Prajnaparamita: Dewi kebijaksanaan buddhis ini digambarkan sebagai wanita cantik berbusana kebesaran tengah bersila dalam posisi teratai dengan mudra dharmachakra (memutar roda dharma). Lengan kirinya menggamit batang bunga teratai yang diatasnya terdapat naskah lontar kitab Prajnaparamita sutra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar