CANDI
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadahpeninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1] Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-BuddhaIndonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadahpeninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1] Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-BuddhaIndonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
Candi merupakan bangunan
replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung
Mahameru.[2]Karena
itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa
pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru.[2] Candi-candi dan pesan yang disampaikan
lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta,
dan keterampilan para pembuatnya.[3]
Beberapa candi seperti Candi
Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detil, kaya akan
hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan
teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini
menjadi bukti betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek
moyangbangsa Indonesia.[4]
TERMINOLOGI
Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[6] Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.
Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[6] Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.
Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di
antara penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi
hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu
di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah Bujang di Kedah). Sama
halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand.
Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk
kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di
Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka,
India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di
India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan istilah chedi dalam bahasa
Thailand yang berarti 'stupa'.
Candi di Indonesia
Di Indonesia, candi dapat
ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan, akan
tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kebanyakan orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di Indonesia yang
termasyhur seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut.[7]
Pada suatu era dalam sejarah
Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa
paling produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan
Medang Mataram ini
candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran
Kedu dan dataran
Kewu di Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi
kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan karya cipta
arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu
di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi
Jago), Candi
Gedongsongo, Candi Dieng, Candi
Panataran, Candi
Angin, Candi Selogrio, Candi
Pringapus, Candi
Singhasari, dan Candi
Kidal.[8] Candi yang bercorak Buddha antara lain
Candi Borobudur danCandi Sewu.[8] Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah
satu candi Hindu-Siwa yang paling indah.[9] Candi itu didirikan pada abad ke-9 Masehi
pada masa Kerajaan
Mataram Kuno.[9]
Nama candi
Kebanyakan candi-candi yang
ditemukan di Indonesia tidak diketahui nama aslinya. Kesepakatan di dunia arkeologiadalah
menamai candi itu berdasarkan nama desa tempat ditemukannya candi tersebut. Candi-candi
yang sudah diketahui masyarakat sejak dulu, kadang kala juga disertai dengan
legenda yang terkait dengannya. Ditambah lagi dengan temuan prasasti atau
mungkin disebut dalam naskah kuno yang diduga merujuk kepada candi tersebut.
Akibatnya nama candi dapat bermacam-macam, misalnya candi Prambanan, candi Rara
Jonggrang, dan candi Siwagrha merujuk kepada kompleks candi yang sama.
Prambanan adalah nama desa tempat candi itu berdiri. Rara
Jonggrang adalah
legenda rakyat setempat yang terkait candi tersebut. Sedangkan Siwagrha
(Sanskerta: "rumah Siwa") adalah nama bangunan suci yang
dipersembahkan untuk Siwa yang disebut dalam Prasasti
Siwagrha dan
merujuk kepada candi yang sama. Berikut adalah sebagian kecil candi-candi yang
dapat diketahui kemungkinan nama aslinya:
Bayu (?) (berdasarkan
warga)
|
Nama candi
|
Dusun dan Desa
|
NAMA asli
|
Nama lain
|
Gunung Wukir(Jawa: "gunung berukir")
|
Canggal, Kadiluwih
|
|||
Mendut, Mungkid
|
||||
Pawon (Jawa:
"dapur" atau "pa-awu-an", tempat abu)
|
Bajranalan
|
Vajranala (?) (Sanskerta: "api halilintar"
berdasarkan nama desa)
|
||
Pawon (Jawa:
"dapur" atau "pa-awu-an", tempat abu)
|
Bajranalan
|
Vajranala (?) (Sanskerta: "api halilintar"
berdasarkan nama desa)
|
||
Sambirejo
|
||||
Penataran, Nglegok
|
||||
Candi Wates, Prigen
|
||||
Tumpang
|
||||
Bajang Ratu(Jawa:"raja cacat")
|
Temon, Trowulan
|
Çrenggapura atau Sri Ranggapura(Sanskerta:"Istana
Sri Rangga", berdasarkan Nagarakretagama, pedharmaan raja Jayanegara)
|
||
Bumisegoro, Borobudur
|
Bhumisambharabudhara(Sanskerta:"sepuluh tingkatan kebajikan
bodhisatwa", berdasarkanprasasti Tri
Tepusan)
|
|||
Kalibening, Kalasan
|
Tārābhavanaṃ (Sanskerta: "Buana Tara",
berdasarkan prasasti Kalasancandi ini dipersembahkan untukdewi Tara)
|
|||
Prambanan
|
Rara Jonggrang (legenda setempat)
|
|||
Jabung, Paiton
|
||||
Jenis dan Fungsi
Jenis berdasarkan agama
Berdasarkan
latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi
Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat
keagamaanya dan mungkin bukan bangunan keagamaan.
1.
Candi
Hindu, yaitu candi untuk
memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau Wisnu, contoh: candi Prambanan,
candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
2.
Candi
Buddha, candi yang berfungsi
untuk pemuliaan Buddha atau keperluan bhiksu sanggha, contoh candi Borobudur,
candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
4.
Candi
non-religius, candi sekuler atau
tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya, contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi
Wringin Lawang.
Jenis berdasarkan hirarki dan ukuran
Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi
terbagi atas beberapa hirarki, dari candi terpenting yang biasanya sangat
megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau
peruntukannya, candi terbagi menjadi:
1. Candi Kerajaan, yaitu candi yang
digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara
keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan
luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran.
2. Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan
oleh masyarakat pada daerah atau desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini
biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok. Contoh: candi
yang berasal dari masa Majapahit,Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
3. Candi Pribadi, yaitu candi yang
digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi
mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan
Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan
Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana
Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).
Fungsi
Candi dapat berfungsi sebagai:
1.
Candi
Pemujaan: candi Hindu yang
paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau bodhisatwa tertentu,
contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan
utamanya untuk Siwa,candi Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.
2.
Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis,
atau sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk
menyimpan relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut,
atau gigi yang dipercaya milik Buddha Gautama, atau bhiksu Buddha terkemuka,
atau keluarga kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai
sarana ziarah dan ritual, contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus
3.
Candi
Pedharmaan: sama dengan kategori
candi pribadi, yakni candi yang dibangun untuk memuliakan arwah raja atau tokoh
penting yang telah meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan
juga karena arwah raja yang telah meninggal seringkali dianggap bersatu dengan
dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai
Wishnu menunggang Garuda. Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
4.
Candi
Pertapaan: didirikan di
lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai pemujaan, juga merupakan
tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
5.
Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan
bersemadi, candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama,
contoh: candi Sari dan Plaosan
6.
Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di
kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.
7.
Candi
Petirtaan: didirikan didekat
sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus
Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang
sesungguhnya bukan merupakan candi, seringkali secara keliru disebut pula
sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, atau pun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.
Arsitektur
Pembangunan candi dibuat berdasarkan
beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin yaitu seniman yang membuat candi
(arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah
Manasara yang berasal dari India Selatan, yang tidak hanya berisi
pedoman-pedoman membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga
arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks
kota dan desa.
Lokasi
Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan
lokasi tempat candi akan dibangun. Hal ini terkait dengan pembiayaan candi,
karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima, yaitu
tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya diperuntukkan bagi
pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa prasasti menyebutkan hubungan
antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain itu pembangunan tata letak
candi juga seringkali memperhitungkan letak astronomi (perbintangan).
Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat
penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di
dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau,
laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah
jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di
dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di
lereng gunung, di hutan, atau di lembah. Seperti kita ketahui, candi-candi pada
umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat
pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di
dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa Tengah banyak tersebar di
kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu.
Tata letak
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang
berkelompok. Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi,
yaitu:
1.
Sistem
konsentris, sistem gugusan
terpusat; yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak candi (candi
perwara). Candi perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem
ini dipengaruhi tata letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi Prambanan dan Candi Sewu.
2.
Sistem
berurutan, sistem gugusan
linear berurutan; yaitu posisi candi perwara berada di depan candi induk. Ada
yang disusun berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki
kawasan yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan, sebelum
memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini merupakan
sistem tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang tinggi, sehingga
bangunan induk atau tersuci diletakkan paling tinggi di belakang mengikuti
topografi alami ketinggian tanah tempat candi dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan dalam tata
letak PuraBali.
GAYA ARSITEKTUR
Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan
gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa Timur.
Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari sebelum tahun 1000
masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah candi yang berasal dari
sesudah tahun 1000 masehi. Candi-candi di Sumatera dan Bali, karena
kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam Jawa Timur.
Bagian dari Candi
|
Langgam Jawa Tengah
|
Langgam Jawa Timur
|
Bentuk bangunan
|
Cenderung tambun
|
Cenderung tinggi dan ramping
|
Atap
|
Jelas menunjukkan undakan, umumnya terdiri atas 3 tingkatan
|
Atapnya merupakan kesatuan tingkatan. Undakan-undakan kecil yang
sangat banyak membentuk kesatuan atap yang melengkung halus. Atap ini
menimbulkan ilusi perspektif sehingga bangunan berkesan lebih tinggi
|
Kemuncak atau mastaka
|
Stupa (candi Buddha), Ratna, Wajra, atau Lingga Semu (candi
Hindu)
|
Kubus (kebanyakan candi Hindu), terkadang Dagoba yang berbentuk
tabung (candi Buddha)
|
Gawang pintu dan hiasan relung
|
Gaya Kala-Makara; kepala Kala dengan mulut menganga tanpa rahang
bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan Makara ganda di masing-masing
sisi pintu
|
Hanya kepala Kala tengah menyeringai lengkap dengan rahang bawah
terletak di atas pintu, Makara tidak ada
|
Relief
|
Ukiran lebih tinggi dan menonjol dengan gambar bergaya naturalis
|
Ukiran lebih rendah (tipis) dan kurang menonjol, gambar bergaya
seperti wayang Bali
|
Kaki
|
Undakan jelas, biasanya terdiri atas satu bagian kaki kecil dan
satu bagian kaki lebih besar. Peralihan antara kaki dan tubuh jelas membentuk
selasar keliling tubuh candi
|
Undakan kaki lebih banyak, terdiri atas beberapa bagian
batur-batur yang membentuk kaki candi yang mengesankan ilusi perspektif agar
bangunan terlihat lebih tinggi. Peralihan antara kaki dan tubuh lebih halus
dengan selasar keliling tubuh candi lebih sempit
|
Tata letak dan lokasi candi utama
|
Mandala konsentris, simetris, formal; dengan candi utama
terletak tepat di tengah halaman kompleks candi, dikelilingi jajaran
candi-candi perwarayang lebih kecil dalam barisan yang rapi
|
Linear, asimetris, mengikuti topografi (penampang ketinggian)
lokasi; dengan candi utama terletak di belakang, paling jauh dari pintu
masuk, dan seringkali terletak di tanah yang paling tinggi dalam kompleks
candi, candi perwara terletak di depan candi utama
|
Arah hadap bangunan
|
Kebanyakan menghadap ke timur
|
Kebanyakan menghadap ke barat
|
Bahan bangunan
|
Kebanyakan batu andesit
|
Kebanyakan bata merah
|
Meskipun demikian terdapat
beberapa pengecualian dalam pengelompokkan langgam candi ini. Sebagai contoh
candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal, dan candi Singhasari jelas masuk dalam
kelompok langgam Jawa Timur, akan tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit,
sama dengan ciri candi langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan Trowulan seperti candi
Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti candi Jabung dan candi
Pari yang
berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping serupa candi Jawa
Timur, tapi susunan dan bentuk atapnya adalah langgam Jawa Tengahan. Lokasi
candi juga tidak menjamin kelompok langgamnya, misalnya candi
Badut terletak
di Malang, Jawa Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa Tengah yang
berasal dari kurun waktu yang lebih tua di abad ke-8 masehi.
Bahkan dalam kelompok langgam
Jawa Tengahan terdapat perbedaan tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara
langgam Jawa Tengah Utara (misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah
Selatan (misalnya kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih
sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit;
sedangkan langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan mewah,
bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata
letak yang teratur.
Pada kurun akhir Majapahit,
gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli
Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak.
Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada candi
Sukuh dan candi
Cetho di
lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga
menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.
Prasasti
Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan
yang keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi,
menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno
Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah,
dimana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajai tentang
prasasti disebut Epigrafi.
Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti
naskah dan berita asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena mampu
memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu prasasti
sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur
penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti
tersebut dikeluarkan.
Dalam pengertian modern di Indonesia, prasasti sering
dikaitkan dengan tulisan di batu nisan atau di gedung, terutama pada saat
peletakan batu pertama atau peresmian suatu proyek pembangunan. Dalam
berita-berita media massa, misalnya, kita sering mendengar presiden, wakil
presiden, menteri, atau kepala daerah meresmikan gedung A, gedung B, dan
seterusnya dengan pengguntingan pita dan penandatanganan prasasti. Dengan
demikian istilah prasasti tetap lestari hingga sekarang.
ETIMOLOGI
Kata prasasti berasal dari bahasa Sanskerta, dengan arti sebenarnya adalah "pujian". Namun kemudian dianggap sebagai "piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan". Di kalangan arkeolog prasasti disebut inskripsi, sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Kata prasasti berasal dari bahasa Sanskerta, dengan arti sebenarnya adalah "pujian". Namun kemudian dianggap sebagai "piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan". Di kalangan arkeolog prasasti disebut inskripsi, sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Meskipun berarti "pujian", tidak semua prasasti mengandung
puji-pujian (kepada raja). Sebagian besar prasasti diketahui memuat keputusan
mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi sima atau daerah perdikan.
Sima adalah tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa kepada masyarakat yang
dianggap berjasa. Karena itu keberadaan tanah sima dilindungi oleh kerajaan.
ISI
Isi prasasti lainnya berupa keputusan pengadilan tentang
perkara perdata (disebut prasasti jayapatra atau jayasong), sebagai tanda
kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapatra), dan tentang
kutukan atau sumpah. Prasasti tentang kutukan atau sumpah hampir semuanya
ditulis pada masa kerajaan Sriwijaya. Serta adapula prasasti yang berisi
tentang genealogi raja atau asal usul suatu tokoh.
Sampai kini prasasti tertua di Indonesia teridentifikasi
berasal dari abad ke-5 Masehi, yaitu prasasti Yupa dari kerajaan Kutai,
Kalimantan Timur. Prasasti tersebut berisi mengenai hubungan genealogi pada
masa pemerintahan raja Mulawarman. Prasasti Yupa merupakan prasasti batu yang
ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Periode terbanyak
pengeluaran prasasti terjadi pada abad ke-8 hingga ke-14. Pada saat itu aksara
yang banyak digunakan adalah Pallawa, Prenagari, Sanskerta, Jawa Kuna, Melayu
Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna. Bahasa yang digunakan juga bervariasi dan
umumnya adalah bahasa Sanskerta, Jawa Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna.
Prasasti dapat ditemukan dalam
bentuk angka tahun maupun tulisan singkat. Angka tahun dapat ditulis dengan
angka maupuncandrasengkala, baik kata-kata maupun
tulisan. Tulisan singkat dapat ditemukan pada dinding candi, pada ambang pintu bagian atas dan pada batu-batu candi.
Pada zaman kerajaan Islam,
prasasti menggunakan aksara dan bahasa
Arab ataupun aksara
Arab namun berbahasa
Melayu aksara Pegon.
Sebagian besar prasasti terdapat pada lempengan-lempengan tembaga bersurat,
makam, masjid, hiasan dinding, baik di masjid maupun dirumah para bangsawan,
pada cincin cap dan cap kerajaan, mata uang, meriam, dll. Pada masa yang lebih
muda yaiyu masa kolonial, aksara Latin banyak digunakan, meliputi bahasa-bahasa Inggris, Portugis, dan Belanda.
Prasasti Latin umumnya terdapat pada gereja-gereja, rumah dinas pejabat
kolonial, benteng-benteng, tugu peringatan, meriam, mata uang, cap, dan makam.
Prasasti beraksara dan berbahasa Cina juga dikenal di Indonesia yang tersebar antara masa Klasik sampai masa Islam. Prasasti tersebut
terdapat pada mata uang, benda-benda porselin, gong perunggu dan batu-batu
kubur yang biasanya terbuat dari batuan pualam.
Bahan yang digunakan untuk
menuliskan prasasti biasanya berupa batu atau lempengan logam, daun, dan kertas. Selain andesit, batu yang
digunakan adalah batu kapur, pualam, dan basalt. Dalam arkeologi,
prasasti batu disebut upala prasasti.
Prasasti logam yang umumnya terbuat dari tembaga dan perunggu, biasa
disebut tamra
prasasti. Hanya sedikit sekali prasasti yang berbahan lembaran perak dan emas. Adapula yang disebutripta prasasti, yakni prasasti yang
ditulis di atas lontar atau daun tal. Beberapa prasasti terbuat
tanah liat atau tablet yang diisi dengan mantra-mantra agama Buddha.
DAFTAR
PRASASTI DI NUSANTARA
BAHASA SANSKERTA
·
Prasasti Mulawarman, Kutai, ~ 400
·
Prasasti Kebon Kopi, Ciampea, Bogor, ~ 400
·
Prasasti Tugu, Kampung Batutumbu, Desa Tugu,
Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, abad ke-5
·
Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, Desa
Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, abad ke-5
·
Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
·
Prasasti Muara Cianten atau Prasasti Pasir
Muara, Ciampea, Bogor, 536
·
Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor, abad ke-5
·
Prasasti Pasir Awi atau Prasasti Ciampea, Citeureup,
Bogor,
·
Prasasti Tukmas, Dakawu, Grabag, Magelang, Jawa
Tengah, ~ 500
·
Prasasti Canggal, Candi Gunung Wukir, Desa
Kadiluwih, Salam, Magelang, Jawa Tengah, 732
·
Prasasti Tri Tepusan, Kedu, Temanggung, Jawa
Tengah, 842
·
Prasasti Mula Malurung, Kediri, 1255
·
Prasasti Wurare, Kandang Gajak, Desa Bejijong,
Trowulan, Mojokerto, 1289
BAHASA MELAYU
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Melayu, baik bahasa
Melayu Kuna maupun Melayu Klasik (Pertengahan).
·
Prasasti Sojomerto, Desa Sojomerto, Kecamatan
Reban, Batang, Jawa Tengah[1], awal abad ke-7 paling tua[2].
·
Prasasti Kedukan Bukit, Palembang, Sumatera
Selatan, 16 Juni 682
·
Prasasti Talang Tuwo, Palembang, Sumatera
Selatan, 23 Maret 684
·
Prasasti Kota Kapur, Kota Kapur, Bangka, 686
·
Prasasti Bukateja, Bukateja, Purbalingga, Jawa
Tengah[3], abad ke-6 atau ke-7
·
Prasasti Karang Brahi, Karangberahi, Jambi, abad
ke-7
·
Prasasti Telaga Batu, Palembang, Sumatera
Selatan, abad ke-7
·
Prasasti Palas Pasemah, Palas,Lampung, abad ke-7
·
Prasasti Raja Sankhara, Sragen, Jawa Tengah, abad
ke-8 (kini hilang).[4]
·
Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung,
Jawa Tengah, 824 (dwibahasa, Melayu Kuna dan Jawa Kuna)
·
Prasasti Gandasuli I dan II, Candi Gondosuli,
Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, 832[3]
·
Keping Tembaga Laguna, Manila, Filipina, 900[3]
·
Prasasti Hujung Langit, Hujung Langit, Lampung,
997
·
Prasasti Dewa Drabya, Dieng, Jawa Tengah[3]
·
Prasasti Mañjuçrighra, Candi Sewu, Prambanan,
Klaten, Jawa Tengah, 2 November 792M[3]
·
Prasasti Terengganu, Trengganu (Malaysia), (abad
ke-14, yaitu 1303, 1326 atau 1386)
·
Prasasti Minyetujoh, Minye Tujuh, Aceh, 1380
BAHASA BALI
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Jawa,
baik Jawa Kuna (Kawi) maupun Baru.
·
Prasasti Plumpungan, Dukuh Plumpungan, Desa
Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah, 24 Juli 750
·
Prasasti Sukabumi, Sukabumi, Pare, Kediri, Jawa
Timur, 25 Maret 804
·
Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung,
Jawa Tengah (dwibahasa), 824
·
Prasasti Siwagrha (Prasasti kakawin tertua
Jawa), 856
·
Prasasti Taji, 901
·
Prasasti Mantyasih, Desa Meteseh, Magelang
Utara, Jawa Tengah, 11 April 907
·
Prasasti Rukam, 907
·
Prasasti Wanua Tengah III, 908
·
Prasasti Wurudu Kidul, tanpa tahun, ~ 922
·
Prasasti Mula Malurung, Kediri, 1255[5]
·
Prasasti Sarwadharma, pemerintahan Kertanegara,
1269
·
Prasasti Sapi Kerep, Desa Sapi Kerep, Sukapura,
Probolinggo, 1275[5]
·
Prasasti Singhasari 1351, Singosari, Malang,
Jawa Timur, 1351
·
Prasasti Ngadoman, Ngadoman (Salatiga), Jawa
Tengah, 1450
·
Prasasti Pakubuwana X, Surakarta, Jawa Tengah,
1938
BAHASA BALI
·
Prasasti Blanjong, Sanur, Bali, 913 (dwibahasa,
Bali Kuna dan Sanskerta)
·
Prasasti Bebetin, Sawan, Buleleng, Bali, 1049
(salinan dari asli yang berasal dari tahun 896)
·
Prasasti Pandak Badung, Tabanan, Bali, 1071
BAHASA SUNDA
·
Prasasti Astana Gede, Kawali, Ciamis, Jawa Barat
~ 1350
·
Prasasti Batutulis, Bogor ~ 1533
·
Prasasti Kebantenan, Bekasi, Jawa Barat ~ 1521
·
Prasasti Galuh, Galuh, Ciamis, Jawa Barat ~ 1470
·
Prasasti Rumatak, Geger Hanjuang, desa
Rawagirang, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat ~ 1111
·
Prasasti Cikajang, Cikajang, Garut, Jawa Barat
·
Prasasti Huludayeuh, Huludayeuh, desa
Cikalahang, Cirebon, Jawa Barat
·
Prasasti Ulubelu, Lampung
·
Prasasti Cikapundung, prasasti yang diduga dari
abad ke-14, Bandung, Jawa Barat
BAHASA PORTUGIS
·
Padrão Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Jakarta Utara,
21 Agustus 1522
ARCA
Arca adalah patung yang
dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana dalam memuja tuhan atau dewa-dewinya. Arca
berbeda dengan patung pada umumnya, yang merupakan hasil seni yang
dimaksudkan sebagai sebuah keindahan. Oleh karena itu, membuat sebuah arca
tidaklah sesederhana membuat sebuah patung.
Kini di dalam dunia keagamaan Indonesia dikenal tiga macam arca, yakni arca
peninggalan agama Hindu, arca
peninggalan agamaBudha, dan arca agama Kristen (terutama Katolik).
HINDU
Dalam agama Hindu, arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: मूर्ति), atau murthi, yang
merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta).
Berarti "penubuhan", murti adalah perwujudan aspek ketuhanan
(dewa-dewi), biasanya terbuat dari batu, kayu, atau logam, yang berfungsi
sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan dalam pemujaan.[1] Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas dipuja sebagai fokus
pemujaan kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan bersemayam didalamnya
dengan tujuan memberikan persembahan atau sesaji.[2] Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap tubuh, atribut, atau
proporsinya harus mengacu kepada tradisi keagamaan yang bersangkutan.[1]
Arca tidak selalu ditemukan di dekat sebuah candi. Candi bisa jadi memiliki sebuah arca, namun sebuah
arca belum tentu ada dalam sebuah candi. Ada tiga jenis arca berdasarkan
kuantitas pemujanya, yakni:
·
Arca
Istadewata, yaitu arca yang
dimiliki oleh perseorangan, sehingga dapat dibawa kemana-mana.
·
Arca
Kuladewata, yaitu arca yang
dimiliki oleh sebuah keluarga, biasanya terdapat di rumah-rumah.
·
Arca
Garbadewata, yaitu arca yang
dipuja oleh banyak orang, dalam hal ini masyarakat.
BUDHA
Murti juga
dimuliakan dalam agama Buddha terutana mazhab Mahayana saat beribadah sebagai
sasaran pemujaan atau fokus meditasi. Pemujaan murti sangat dianjurkan dalam
dalam Hindu dan Buddha, khususnya pada masa Dwapara Yuga,[3] seperti disebutkan
dalam naskah Pañcaratra. Dalam agama Buddha, arca perwujudan Buddha Gautama
disebut Buddharupa.
LAKSANA
Arca dewa, dewi, atau boddhisatwa biasanya mengenakan
perhiasan yang raya dan mewah, seperti jamang, jatamakuta (mahkota), subang
(anting-anting), cincin, gelang, kelat bahu, upawita, pending, ikat perut, ikat
pinggang, ikat pinggul, dan gelang kaki.
Tidak seperti patung biasa yang dibuat bebas sesuai keinginan
seniman pematungnya, arca dewa-dewi, buddha, bodhisattwa atau makhluk spiritual
tertentu memiliki ciri-ciri yang disebut laksana, yaitu atribut atau
benda-benda tertentu yang dibawa oleh arca ini yang menjadi cirinya. Laksana
sudah disepakati dalam ikonografi seni Hindu dan Buddha.
Berikut ini adalah laksana atau ciri-ciri atribut
dewa-dewa atau tokoh spiritual lainnya:
Shiwa: Memiliki mata ketiga di dahinya, pada
mahkotanya terdapat bulan sabit dan tengkorak yang disebut Ardhachandrakapala,
upawita (tali kasta) ular naga, mengenakan cawat kulit harimau yang ditampilkan
dengan ukiran kepala dan ekor harimau di pahanya, bertangan empat yang membawa
atribut yaitu trisula, aksamala (tasbih), camara (pengusir lalat), dan
kamandalu (kendi). Wahana (kendaraannya) adalah Nandi.
Wishnu: Mengenakan mahkota agung jatamakuta, bertangan
empat yang membawa atribut yaitu chakra (piringan cakram), cengkha (cangkang
kerang bersayap), gada, dan buah atau kuncup bunga padma. Wahananya adalah
Garuda.
Brahma: Berkepala empat pada tiap penjuru mata angin,
mengenakan mahkota agung jatamakuta, bertangan empat yang membawa atribut yaitu
kitab, aksamala (tasbih), camara (pengusir lalat), dan buah atau kuncup bunga
padma.Wahananya adalah Hamsa (angsa).
Agastya: Shiwa dalam perwujudannya sebagai resi
brahmana pertapa, digambarkan pria tua berjanggut dan berperut buncit, memegang
aksamala, kamandalu, dan trisula.
Ganesha: Putra Shiwa yang berkepala gajah ini
digambarkan bertangan empat dengan tangan belakang memegang aksamala dan
kampak, sementara tangan depannya memegang mangkuk yang dihirup belalainya,
serta potongan gadingnya.
Durga: Istri Shiwa ini sering diwujudkan sebagai
Mahisashuramardhini (pembunuh ashura banteng) dengan posisi menindas raksasa
banteng. Ia digambarkan sebagai wanita cantik dalam busana kebesaran bertangan
delapan atau duabelas dengan memegang berbagai senjata seperti pedang, perisai,
parang busur panah, anak panah, chakra, cengkha, dan tangan yang menjambak
rambut Mahisashura dan menarik ekornya. Wahananya adalah Singa.
Laksmi: Istri Wishnu ini adalah dewi kemakmuran dan
kebahagiaan. Digambarkan sebagai wanita cantik dalam busana kebesaran bertangan
dua atau empat dengan memegang padma (teratai merah).
Saraswati: istri Brahma ini adalah dewi pengetahuan dan
kesenian. Digambarkan sebagai wanita cantik dalam busana kebesaran bertangan
empat yang memegang alat musik sitar, aksamala, dan kitab lontar. Wahananya
adalah hamsa (angsa).
Wairocana: Buddha penguasa pusat zenith digambarkan
sebagai Buddharupa dalam posisi bersila atau duduk dengan mudra (sikap tangan)
dharmachakra mudra atau witarka mudra.
Awalokiteswara: Mengenakan mahkota agung jatamakuta
yang ditengahnya terukir Buddha Amitabha, bertangan dua atau empat yang membawa
atribut buah atau kuncup bunga padma.
Maitreya: Mengenakan mahkota agung jatamakuta yang
ditengahnya terukir stupa.
Prajnaparamita:
Dewi kebijaksanaan buddhis ini digambarkan sebagai wanita cantik berbusana
kebesaran tengah bersila dalam posisi teratai dengan mudra dharmachakra
(memutar roda dharma). Lengan kirinya menggamit batang bunga teratai yang
diatasnya terdapat naskah lontar kitab Prajnaparamita sutra.